Minggu, 27 Februari 2011

KESEJAHTERAAN SOSIAL: Hak Masyarakat & Kewajiban Negara



Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak bulan Agustus 1997 telah menimbulkan dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Diawali dengan nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap Dolar AS, mengakibatkan kinerja kegiatan produksi menurun tajam karena sebagian bahan bakunya berasal dari luar negeri. Dari data yang dikumpulkan Depsos untuk wilayah DKI Jakarta hingga Juli 1998, tercatat adanya peningkatan jumlah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) sebesar 30%, WTS 30%, pedagang asongan 75%, dan anak jalanan 200% (Republika, 29 Juli 1998). 

Keadaan sosial yang telah menghasilkan banyak orang miskin baru ini merupakan masalah sosial yang penting untuk segera diatasi. Jumlah siswa yang harus putus sekolah meningkat tajam di saat wajib belajar sedang giat-giatnya digalakkan. Keadaan gizi dan kesehatan masyarakat menurun sehingga mencapai titik yang memprihatinkan. Kenyataan ini harus diantisipasi untuk menghindari terdapatnya "generasi yang hilang" beberapa dasawarsa mendatang.


Dijamin oleh UUD 1945


Pasal 34 undang-undang dasar 1945 menyatakan "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." Yang dimaksud dengan fakir miskin di sini adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencarian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dapat juga berarti orang yang mempunyai sumber mata pencarian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Para gelandangan, pengemis, maupun anak-anak jalanan dapat pula dikategorikan sebagai fakir miskin untuk kemudian dipelihara oleh negara. 


Bagaimanakah sebenarnya relisasi pemeliharaan oleh negara yang dikehendaki oleh konstitusi? Penjelasan pasal 34 UUD 1945 berbunyi "Telah cukup jelas, lihat di atas". Yang dimaksud oleh kalimat "di atas" itu tidak lain adalah penjelasan dari pasal 33 UUD 1945 yang memang masuk dalam bab yang sama dengan pasal 34 yaitu bab mengenai kesejahteraan sosial. Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 antara lain menyebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perseorangan. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. 


Dari penjelasan UUD 1945 tersebut terlihat jelas relevansi dari sistem ekonomi dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Sistem ekonomi kerakyatan yang berasal dari rakyat, dikerjakan oleh rakyat, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat banyak merupakan bentuk ideal yang seyogianya dan wajib diciptakan oleh negara. 

Dalam kenyataannya, pemerintah ternyata tidak berhasil menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk mencapai hal itu. Akumulasi modal yang hanya berputar pada segelintir kalangan masyarakat pada masa orde baru tak ayal lagi merupakan kejahatan terstruktur yang tidak boleh terulang kembali. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk menerapkan sistem ekonomi kerakyatan akhir-akhir ini dapat disambut positif sebagai wujud tanggung jawab negara memelihara kesejahteraan rakyatnya.


Bantuan dan Rehabilitasi Sosial

Pasal 34 UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Pasal 1 UU 6/1974 menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial".

Selain usaha menciptakan sistem perekonomian yang sifatnya mendasar, perlu pula usaha yang sifatnya lebih pada pelaksanaan langsung di lapangan. Hal ini dibutuhkan untuk dapat sesegera mungkin mengantisipasi keadaan sosial yang memprihatinkan ini. Pengaturan yang bersifat lebih teknis di bawah UU 6/1974 adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Fakir Miskin. Pasal 2 ayat (1) dari PP 42/1981 di atas menyebutkan bahwa fakir miskin berhak mendapatkan pelayanan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan bahwa pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin tersebut meliputi bantuan sosial dan rehabilitasi sosial. 


Bantuan sosial adalah bantuan bersifat sementara yang diberikan kepada keluarga fakir miskin agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial yang diberikan dapat berbentuk bantuan santunan hidup, bantuan sarana usaha ekonomi produktif, atau bantuan sarana kelompok usaha bersama. Bantuan ini berupa bahan atau peralatan untuk menunjang usaha ekonomi produktif. Sesuai dengan asas kekeluargaan yang dianut, maka sarana usaha ekonomi produktif tersebut diberikan dan dikelola dalam sebuah kelompok usaha bersama yang berada dalam pembinaan pemerintah.


Proses Pemberian Bantuan


Proses pemberian bantuan yang dilakukan pemerintah dengan pengajuan data keluarga miskin yang perlu mendapatkan bantuan melalui RT/RW yang bersangkutan dalam rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) kecamatan tiap-tiap desa/kelurahan. Data yang diterima kemudian dibicarakan dan diolah di Rakorbang kabupaten/Kota Madya untuk selanjutnya dibawa ke tingkat provinsi dan terakhir diajukan ke Bapenas. Data yang masuk ke Bapenas diseleksi untuk disesuaikan dengan anggaran yang disediakan APBN. Proses yang cukup panjang ini menghendaki efisiensi di setiap lini agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan.

Tindak lanjut dari pemberian bantuan sosial adalah rehabilitasi sosial yang berfungsi sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan, untuk memungkinkan fakir miskin mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses rehabilitasi sosial ini, fakir miskin berhak untuk mendapatkan pembinaan kesadaran berswadaya, pembinaan mental, pembinaan fisik, pembinaan keterampilan, dan pembinaan kesadaran hidup bermasyarakat. Fakir miskin yang telah selesai menjalani pembinaan dapat diberikan bantuan permodalan oleh Depsos guna meningkatkan taraf kesejahteraannya.

Jaring Pengaman Sosial 

Program lain yang sedang digalakkan pemerintah untuk membantu meringankan beban masyarakat dan mencegah timbulnya fakir miskin baru adalah program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS dilakukan dengan bekerjasama dengan badan-badan dana luar negeri. Salah satu bentuk program ini dilaksanakan melalui kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang masih mampu bertahan untuk dapat menampung sebagian tenaga kerja yang terkena PHK. Salah satu kelebihan program jaring pengaman sosial ini adalah pelaksanaan di lapangan tidak lagi dilakukan oleh aparat pemerintahan sehingga dapat dihindari kemungkinan hambatan birokrasi yang menumpulkan efektivitas program.

Namun sayangnya program yang mempunyai dana milyaran dolar dan triliunan rupiah ini belum dikelola dengan baik.. 

Dibutuhkan: Partisipasi Masyarakat 

Selain hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat seperti dipaparkan di atas, terdapat pula kewajiban bagi masyarakat, yang dibebankan oleh UU No.6 tahun 1974, untuk ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Keadaan keuangan negara yang tidak mendukung saat ini sangat memerlukan bantuan yang intensif dari masyarakat, karena pada saat rakyat sangat memerlukan bantuan dana pelayanan sosial dari pemerintah ternyata anggaran pemerintah untuk pelayanan sosial justru menurun. 

Ada beberapa peraturan yang telah dibuat untuk memfasilitasi kewajiban masyarakat tersebut. Salah satunya adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberikan wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan menyalurkan zakat, infaq, dan sadaqah. Pasal 12 PP 42/1981 juga memfasilitasi kewajiban ini dengan memberikan kemungkinan bagi organisasi sosial yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial untuk mendapatkan bantuan subsidi.

Menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bukanlah satu-satunya bentuk partisipasi masyarakat. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, juga dibutuhkan kontrol sosial dari masyarakat terhadap kewajiban pemerintah untuk menjamin kesejahteraan sosial ini. Kritik langsung dan peranan insan pers akan selalu dibutuhkan untuk mencegah adanya kebocoran-kebocoran dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.

Transparansi

Dari pengamatan langsung di bilangan Kampung Tengah Jakarta Selatan pada bulan Februari 1999, ditemukan komunitas masyarakat tidak mampu yang belum pernah sekalipun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Apakah mungkin kondisi mereka yang hidup di lingkungan kumuh dengan rumah-rumah semi permanen berukuran tiga kali tiga meter masih belum layak untuk mendapatkan bantuan? Yang jelas mereka sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk modal usaha mereka agar tidak terjerat oleh rentenir. Aparat kelurahan diketahui pernah mendata dan mendokumentasi mereka dengan iming-iming akan diberikan bantuan permodalan, namun hingga tulisan ini dibuat janji tersebut belum kunjung terealisasi. 

Langkah transparansi harus segera dilakukan agar efisiensi bantuan dapat terjamin. Adanya transparansi sangat dibutuhkan dalam proses pemberian bantuan ini untuk memberikan kepastian bahwa dana bantuan telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Masyarakat pemberi dana, yaitu penyumbang maupun seluruh masyarakat sebagai pembayar pajak kepada negara, yang dananya digunakan untuk kesejahteraan sosial, berhak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dana yang telah mereka berikan. Sementara masyarakat yang berhak menerima dana tersebut juga berhak atas transparansi, untuk memastikan bahwa hak mereka atas kesejahteraan sosial tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerimanya. 


Hak-Hak Dalam Jaminan Kesejahteraan Sosial:

1. Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
2. Fakir miskin berhak mendapatkan pemeliharaan dari negara (Pasal 34 UUD 1945).
3. Fakir miskin berhak mendapatkan sarana bantuan sosial dan rehabilitasi sosial. (Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI no.42 tahun 1981).

Kewajiban-Kewajiban Dalam Jaminan Kesejahteraan Sosial:

1. Setiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. (Pasal 1 UU no.6 tahun 1974).
2. Pemerintah wajib mengusahakan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak. (Penjelasan pasal 33 UUD 1945).
Sumber :
Kajian Sosial Masyarakat Transparansi Indonesia
(www.transparansi.or.id)

Politik Indonesia 2011 masihkah Demokrasi Semu?

DALAM sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma'arif menilai pemerintah saat ini menunjukkan gejala mati rasa terhadap berbagai persoalan. Apa yang disampaikan Buya Syafii itu, menurut pandangan saya, tidak saja mengandung kebenaran, tapi lebih daripada itu sejatinya bisa menjadi evaluasi politik 2010 sekaligus 'cetak biru' untuk menggambarkan politik Indonesia ke depan. Sebagaimana diketahui, bersamaan dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya era reformasi tahun 1998, membumbung pula harapan masyarakat akan adanya perbaikan di semua lini kehidupan. Itu bisa dipahami karena sepanjang Orde Baru berkuasa, nilai-nilai demokrasi telah dikebiri lewat berbagai macam cara, semata untuk melanggengkan kekuasaan dan menyokong berbagai kepentingan si penguasa berikut kroni-kroninya. Harapan masyarakat itu harus diakui sempat terkanalisasi seiring dengan munculnya berbagai kebijakan yang dinilai bisa memberi penguatan pada nilai-nilai demokrasi. Baik di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.


Pers yang selama Orde Baru dipasung, misalnya, dibiarkan tumbuh dan berkembang sekaligus diberi kebebasan dengan diterbitkannya UU No 40/1999 tentang Pers. Sistem pemerintahan yang sebelumnya sangat sentralistik dan semuanya serba-'Jakartasentris' juga dibinasakan melalui keluarnya UU No22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU tersebut kemudian direvisi menjadi UU No 32/ 2004 dan UU No33/ 2004. Bahkan, yang sangat menjanjikan adalah soal pemilu presiden yang sebelumnya dilakukan secara tidak langsung (presiden dipilih MPR), sejak 2004, untuk kali pertama Indonesia menggelar pilpres secara langsung. Setahun kemudian, tepatnya Juni 2005, untuk pertama kalinya juga negeri ini menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) secara langsung.


Perubahan sistem pemilu itu tentu menjadi titik penting dalam upaya penguatan demokrasi di Indonesia karena kendati pemilu hanya instrumen, instrumen itulah, diakui atau tidak, yang menjadi esensi dari demokrasi. Lewat pemilu, terbangun ikatan politik antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahan terpilih sebagai penyelenggara kekuasaan. Ikatan itu tentu saja menimbulkan hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik itu dalam bentuk yang sederhana adalah: pemilih memberi legitimasi terhadap yang dipilih karena itu pemilih memiliki hak untuk melakukan kontrol dan pengawasan (tanggung gugat) terhadap yang dipilih. Atau, dari kacamata lain, pemerintahan yang dipilih memiliki kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberinya legitimasi kekuasaan.


Demokrasi masih semu?
Namun, apakah saat ini kondisinya sudah berbanding lurus dengan harapan yang telanjur membumbung tinggi itu? Jangankan berbanding lurus, mendekati pun publik pasti tidak melihatnya. Sebab dalam perkembangannya, harapan itu seolah mengalami stagnasi, bahkan layu tatkala penguatan demokrasi itu ternyata hanya menyentuh pada aspek prosedural, dan bukan substansial. Betapa tidak, karena dalam praktiknya meminjam istilah Buya Syafii penyelenggara negara dari waktu ke waktu semakin kuat menunjukkan gejala mati rasa.
Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010 berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang--relatif tak banyak berubah jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10 juta orang).
Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo, terjadinya 'kriminalisasi' terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh-contoh lain yang harus diakui kian mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan yang apik dan santun, toh penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus tersebut tetap saja dinilai jauh dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat.


Ironisnya lagi, perilaku yang tak populer di mata publik itu melibatkan elite-elite politik dari lintas partai. Mereka bukannya mengingatkan munculnya gejala mati rasa dari penyelenggara negara, melainkan sepertinya justru sengaja berkerumun di lingkar kekuasaan untuk kebagian 'kue' kekuasaan. Akibatnya, yang terekam ke publik adalah: parpol yang merupakan pilar demokrasi tak ubahnya kumpulan elite yang hanya berburu kekuasaan. Performa semacam itu diperparah lagi dengan kultur politik internal partai yang sebagian besar masih feodalistik. Situasi itu kemudian diperparah dengan perkembangan yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita tangkap akhir-akhir ini yakni munculnya 'politik barter', yakni keuntungan pribadi atau kelompok menjadi pertimbangan utama. Adanya politik barter jelas mencemaskan karena tidak saja berpotensi menggerus kualitas kebijakan, baik berupa aturan perundang-undangan atau keputusan dalam menentukan pilihan, tapi juga membuat pembahasan terhadap peraturan menjadi bertele-tele sekadar untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok semata. Lebih daripada itu, 'politik barter' memicu terbentuknya politik oligarki, sekaligus memunculkan demokrasi semu di Indonesia.


Harapan politik 2011
Dari kesemua fenomena yang terjadi itu, masihkah ada harapan bahwa 2011 nanti perpolitikan, konsolidasi demokrasi, akan menemui titik terang? Rasanya jika mengacu pada bagaimana penyelenggara negara menyikapinya, harapan itu masih menjadi impian. Jika tidak ada terobosan dan komitmen kuat dari penyelenggara negara dan juga elite-elite parpol ke arah mana keberpihakannya, yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan justru kian menipisnya kepercayaan publik di satu sisi dan menguatnya kekecewaan di sisi lain. Sebenarnya tidak seharusnya publik menyambut tahun 2011 dengan pesimisme yang akut karena filosofi bernegara adalah untuk melihat terwujudnya harapan dan kepentingan kolektif. Namun, dengan gejala-gejala politik akhir-akhir ini sepertinya memang menjadi warning bagi publik untuk siap menerima kekecewaan lagi. Sebut saja bagaimana penyelenggara negara memolemikkan keistimewaan Yogyakarta tatkala air mata sebagian warga Yogyakarta belum kering oleh bencana meletusnya Gunung Merapi. Dalam soal itu, mestinya sebagai sebuah bangsa kita wajib menghormati sejarah dan menjunjung tinggi kesepakatan para pendiri bangsa.

Belum lagi dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan, dengan Presiden dalam berbagai kesempatan menyatakan akan menghindari segala bentuk intervensi terhadap soal ini. Presiden lupa bahwa persoalan Gayus masih ditangani aparat kepolisian dan kejaksaan yang notabene merupakan domain eksekutif, bukan yudikatif. Penanganan hukum yang terksesan setengah-setengah seperti itu justru akan membuat kekecewaan publik semakin menumpuk. Celakanya, kekecewaan itu sepertinya akan memperoleh sumbu penyulut dengan bakal lahirnya berbagai kebijakan yang tidak populis dan cenderung hanya akan semakin membebani kehidupan rakyat sehari-hari. Misalnya bakal dinaikkannya lagi tarif dasar listrik atau dilakukannya pembatasan konsumsi BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi mulai tahun depan. Belum lagi, misalnya, rencana penaikan tarif kereta api kelas ekonomi. Karena, bagi rakyat, apa pun alasan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik ataupun membatasi penggunaan BBM bersubsidi tetap saja sulit dipahami dan diterima. Bahkan, bukan tidak mungkin, penaikan itu justru akan semakin menguatkan kecurigaan terjadinya 'patgulipat' di tingkat elite pusat sebagaimana halnya yang terjadi dalam penjualan PT Krakatau Steel, misalnya.

Pada gilirannya, semakin menipisnya kepercayaan serta menguatnya kekecewaan publik itu bukan tidak mungkin akan menyulut kemarahan dalam intensitas yang tinggi. Ini tentu perlu diwaspadai karena tidak hanya akan mengait dengan persoalan keamanan, tapi juga mempengaruhi stabilitas bidang-bidang lainnya.
Karena itulah, tidak bisa tidak, para penyelenggara negara, serta para elit politik di negeri ini harus segera melakukan evaluasi sekaligus reorientasi baik menyangkut perilaku maupun kepentingan. Sudah saatnya konsolidasi demokrasi tak lagi terus-menerus berkutat pada soal prosedural belaka, substansi dan etoslah yang mesti hadir dalam peradaban demokrasi kita di masa yang akan datang. Hal terpenting juga harapan publik atas penegakan hukum untuk tidak hanya diarahkan pada lawan politik kekuasaan, serta menghilangkan 'politik barter' juga harus diperhatikan. Karena harus diakui, bahwa kondisi politik kita sudah sangat maju dalam hal strategi, tetapi sangat rendah dalam hal etika.

Oleh Pramono Anung Wibowo, Wakil Ketua DPR RI, politikus PDI Perjuangan
OPini Media Indonesia 16 Desember 2010

Sumber :

Unjuk Rasa di Bandung Dukung Nurdin? aksi demokrasi



Aksi Komunitas Suporter Indonesia Bersatu (KOMISBER) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Jumat (25/02/2011). Mereka mengaku prihatin dengan aksi penolakan terhadap Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Menurut mereka kinerja PSSI harus terus didukung untuk memajukan persepakbolaan nasional.

BANDUNG, KOMPAS.com – Tak mau tertinggal dari kota-kota lain di Tanah Air, Kota Bandung pun, Jumat (25/2/2011) diwarnai aksi unjuk rasa terkait kisruh di tubuh PSSI. Bedanya, jika di kota lain demo yang digelar menyuarakan turunnya sang Ketua Umum Nurdin Halid, di Bandung demo justru menyuarakan agar Pemerintah menyingkir dan tidak mengintervensi PSSI.

Aspirasi itu disampaikan sekitar 30 orang dari Forum Pecinta Sepak Bola Bandung yang berunjuk rasa di depan Gedung Sate. "Atas nama demokrasi, kami berharap jangan ada intervensi kepada PSSI," ujar Koordinator Aksi Iwan Bapri, di sela-sela aksinya.

Pihaknya juga mengecam intervensi pemerintah terhadap mekanisme pemilihan Ketua Umum PSSI periode 2011-2015 yang sudah diwarnai dengan politisasi. "Kami melakukan ini bukan berarti pro pada calon tertentu, tapi sebagai bentuk keprihatinan kami terhadap pemilihan calon Ketua Umum PSSI yang sudah dipolitisasi," kata Iwan Bapri.

Dikatakannya, ada kisruh pemilihan Ketua PSSI ini menjadi ajang pengalihan isu terhadap kasus krusial lainnya, seperti kasus mafia pajak dan lain-lain. "Kisruh PSSI jangan sampai mengalihkan perhatian kita terhadap masalah yang lebih penting seperti kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan," ujarnya.
Sementara itu, di tempat yang sama puluhan mahasiswa dari BEM Bandung Raya juga berunjuk rasa menyatakan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya kasus mafia pajak.

Mereka menuntut agar pemerintah melakukan penuntasan terhadap berbagai macam kasus korupsi perpajakan dan menyerahkan penyelesian kasus gayus ke KPK. Dalam aksinya, mahasiswa melakukan aksi teatrikal yang menggambarkan matinya penegakan hukum.

Sumber :

DEMOKRASI



Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.
Sedangkan demokrasi dalam pengertiannya yang modern muncul pertama kali di Amerika. Konsep demokrasi modern sebagian besar dipengaruhi oleh para pemikir besar seperti Marx, Hegel, Montesquieu dan Alexis de Tocqueville. Mengingat semakin berkembangnya negara-negara pada umumnya, secara otomatis menyebabkan makin luasnya negara dan banyaknya jumlah warganya serta meningkatnya kompleksitas urusan kenegaraan, mengakibatkan terjadinya perwalian aspirasi dari rakyat, yang disebut juga sebagai demokrasi secara tidak langsung.
Demokrasi Klasik
Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran yang dikenal berpandangan a tree partite classification of state yang membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal yang dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Para penganut aliran ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino.
Plato dalam ajarannya menyatakan bahwa dalam bentuk demokrasi, kekuasan berada di tangan rakyat sehingaa kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Akan tetapi kemudian rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles sendiri mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Menurut Polybius, demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi yang dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri.
Demokrasi Modern
Ada tiga tipe demokrasi modern, yaitu :
Demokrasi representatif dengan sistem presidensial
Dalam sistem ini terdapat pemisahan tegas antara badan dan fungsi legislatif dan eksekutif. Badan eksekutif terdiri dari seorang presiden, wakil presiden dan menteri yang membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hubungannya dengan badan perwakilan rakyat (legislatif), para menteri tidak memiliki hubungan pertanggungjawaban dengan badan legislatif. Pertanggungjawaban para menteri diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Presiden dan para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan legislatif.
Demokrasi representatif dengan sistem parlementer
Sistem ini menggambarkan hubungan yang erat antara badan eksektif dan legislatif. Badan eksekutif terdiri dari kepala negara dan kabinet (dewan menteri), sedangkan badan legisletafnya dinamakan parlemen. Yang bertanggung jawab atas kekuasaan pelaksanaan pemerintahan adalah kabinet sehingga kebijaksanaan pemerintahan ditentukan juga olehnya. Kepala negara hanyalah simbol kekuasaan tetapi mempunyai hak untuk membubarkan parlemen.
Demokrasi representatif dengan sistem referendum (badan pekerja)
Dalam sistem ini tidak terdapat pembagian dan pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari sistemnya sendiri di mana BADAN eksekutifnya merupakan bagian dari badan legislatif. Badan eksekutifnya dinamakan bundesrat yang merupakan bagian dari bundesversammlung (legislatif) yang terdiri dari nationalrat-badan perwakilan nasional- dan standerat yang merupakan perwakilan dari negara-negara bagian yag disebut kanton.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh American Institute of Public Opinion terhadap 10 negara dengan pemerintahan terbaik, diantaranya yaitu Switzerland, Inggris, Swedia dan Jepang di posisi terakhir, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri demokrasi (modern) yaitu adanya hak pilih universal, pemerintahan perwakilan, partai-partai politik bersaing, kelompok-kelompok yang berkepentingan mempunyai otonomi dan sistem-sistem komunikasi umum, frekuensi melek huruf tinggi, pembangunan ekonomi maju, besarnya golongan menengah.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI

Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi." Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah :
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

PRINSIP – PRINSIP DEMOKRASI YANG BERLAKU UNIVERSAL


Berdasarkan uraian sebelumnya dapat di simpulkan bahwa setiap Negara yang demokrasi memiliki kecendrungan yang sama dalam hal prinsip-prinsip yang dianut. Beberapa prinsip demokrasi yang berlaku secara universal, antara lain:


1. keterlibatan warga Negara dalam penbuatan keputusan politik
ada dua pendekatan tentang keterlibatan warga Negara yaitu teori elitis dan partisipatori ;

·         Pendekatan elitis adalah pembuatan kebijakan umum namun menuntut adanya kualitas tanggapan pihak penguasa dan kaum elit, hal ini dapat kita lihat pada demokrasi perwakilan.
·         Pendekatan partisipatori adalh pembuatan kebijakan umum yang menuntut adanya keterlibetan yang lebih tinggi.

2. Persamaan diantara warga Negara
Tingkat persamaan yang ditunjukan biasanya yaitu dibidang; politik, hokum, kesempatan, ekonomi, social dan hak.


3. Kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga Negara


4. Supremasi Hukum
Penghormatan terhadap hokum harus dikedepankan baik oleh penguasa maupun rakyat, tidak terdapat kesewenang – wenangan yang biasa dilakukan atas nama hokum, karena itu pemerintahan harus didasari oleh hokum yang berpihak pada keadilan.


5. Pemilu berkala
Pemilihan umum, selain mekanisme sebagai menentukan komposisi pemerintahan secara periodic, sesungguhnya merupakan sarana utama bagi par tisipasi politik individu yang hidup dalam masyarakat yang luas, kompleks dan modern.


Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:
  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik.

Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Sumber :

HAM



Pengertian dan Definisi HAM :

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing

2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat


Contoh hak asasi manusia (HAM):
  • Hak untuk hidup.
  • Hak untuk memperoleh pendidikan.
  • Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain.
  • Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama.
  • Hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Pasal-pasal HAM

Dalam perundangan-undangan pasal yang menyangkut masalah HAM yakni dari pasal 1 sampai pasal 30 .

Perkembangan pemikiran HAM di Indonesia:

Pemikiran HAM periode sebelum kemerdekaan yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakukan yang sama hak kemerdekaan.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang di Indonesia telah berlaku 3 UUD dalam 4 periode, yaitu:
• Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, berlaku UUD 1945
• Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, berlaku konstitusi Republik Indonesia Serikat
• Periode 17 Agustus sampai 5 Juli 1959, berlaku UUD 1950
• Periode 5 Juli 1959 sampai sekarang, berlaku Kembali UUD 1945

HAM Dalam Tinjauan Islam

Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi (Abu A'la Almaududi, 1998). Dalam Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (hak al insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya sholat.

Dilihat dari tingkatannya, ada 3 bentuk HAM dalam Islam, pertama, Hak Darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga eksistensinya bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak hidup dilanggar maka berarti orang itu mati. Kedua, hak sekunder ( hajy ) yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya hak-hak elementer misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak maka akan mengakibatkan hilangnya hak hidup. Ketiga hak tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Mas'udi, 2002)

HAM Dalam Perundang-Undangan Nasional

Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (UUD Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang, antara lain melalui amandemen dan referendum, sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM dalam bentuk Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya, pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.

Pelanggaran HAM dan pengadilan HAM

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.

Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum.

Penaggung jawab dalam penegakan (respection), pemajuan (promotion), perlindungan (protection) dan pemenuhan (fulfill) HAM.

Tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal.

Contoh-Contoh Kasus Pelanggaran HAM

• Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
• Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.
• Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
• Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan pelanggaran HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan tidak bisa menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.
• Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.


Hak Asasi Manusia di Indonesia

Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.

Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:

Undang – Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality).
Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.

Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998.

Sumber :